Pages

Rabu, 30 Mei 2012

agama buddha di china


Dengan mengetahui gambaran menyeluruh tentang sejarah negeri China, maka sejarah perkembangan agama Buddha di China akan dipahami dengan lebih baik. Sejak jaman perunggu di China, kerajaan-kerajaan timbul dan tenggelam, pemerintahan juga berubah-ubah dari pangeran hingga pegawai pemerintah.

Penduduk China berkembang dengan pesat. Pada abad pertama sebelum masehi, penduduk negeri ini diperkirakan sudah berjumlah 50 juta. Daerah-daerah subur di sepanjang aliran­-aliran sungai menjadi tempat pemukiman yang memberikan cukup makanan. Padi merupakan bahan pokok utama. Tanaman baru yang berasal dari Champa (Vietnam) yang berkembang pada abad 11 seperti gandum, ubi jalar yang dapat tumbuh pada tanah-­tanah yang sempit, ikut mendorong pertumbuhan jumlah penduduk. Pada sekitar tahun 1200, jumlah penduduk China diperkirakan berjumlah 100 juta, jumlah tersebut menurun menjadi sekitar 65 juta pada tahun 1368 yakni pada tahun berakhirnya dinasti Mongol. Sejak itu jumlah penduduk mengalami peningkatan. Namun, laju pertumbuhan penduduk tidak terlalu pesat karena mengalami beberapa hambatan yang disebabkan oleh bencana alam (banjir, penyakit), peperangan, dan kerusuhan sosial.

Penduduk China terdiri dari suku-suku bangsa dengan bahasa yang berlainan. Suku yang utama adalah Bangsa Han, yang mengembangkan dasar-dasar kebudayaan dan politik sejak dinasti Han (202-220 SM). Para ahli bahasa menggolongkan bahasa China dalam keluarga Sino-Tibet. Dialek-dialek yang merupakan bagian dari bahasa China beberapa diantaranya adalah dialek Wu atau Soochow, didapati di sekitar sungai Yangtze dan Shanghai, dialek Min diwakili oleh Amoy (Fukien selatan) dan Swatow (Kwantung dan pulau Hainan), dialek Hakka Yueh (Kanton), serta suku-suku minoritas di selatan dan barat yang berdarah campuran Turki dan Mon­gol. Karena pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, kesulitan bahasa telah melahirkan bahasa Mandarin sebagai bahasa nasional pada abad ke 20 ini.

Sejarah China memberikan gambaran bahwa agama tidak memegang peranan penting. Filsafat etika (moral) dari Kong Hu Chu atau Confusius (551-479 SM) yang mengajarkan ”jen” sebagai azas kesatuan telah dilengkapi dengan konsep "yi" atau kebenaran oleh Mencius (sekitar 372-289 SM). Pandangan filsafat tersebut kemudian disempurnakan oleh Hsun Tzu (306-212 SM).

Selain pandangan pembaharuan yang berdasarkan tata laku dalam kehidupan masyarakat yang berasal dari Kong Hu Chu, terdapat juga pandangan lain yang berdasarkan kehidupan rohani (bertapa) dari Lao Tzu (sekitar 575-485 SM) dan Chuang Tzu (sekitar 369-286 SM) yang disebut "Teo Te Ching". Dalam sejarah China, kedua pandangan tersebut silih berganti berkembang sesuai dengan keadaan kehidupan masyarakat. Bila keadaan tenang dan makmur, maka pandangan Kong Hu Chu yang berkembang. Dan sebaliknya bila keadaan sulit, maka ajaran Tao yang populer.

Keruntuhan dinasti Han pada awal abad ke-3 Masehi telah membuat kerajaan China mengalami kemunduran dalam beberapa abad. Ajaran Kong Hu Chu pun memudar dan pada masa ini agama Buddha mulai diperhatikan masyarakat China, ajaran Tao juga mengalami kebangkitan kembali.

Sejarah filsafat China dapat dibagi menjadi lima periode, yaitu :
1.   Periode kuno awal (sampai sekitar 200 SM)
2.   Periode kuno kemudian (sekitar 200 SM - 400 M)
3.   Periode pertengahan (sekitar 400–1000 M)
4.   Periode modern awal (sekitar 1000–1800 M) dan
5.   Periode kontemporer (sejak tahun 1800 M)

Ensyclopedia Americana cetakan tahun 1978 menyebutkan nama-nama dinasti dan negara (kerajaan) di China dari zaman purba sebagai berikut :

Kerajaan T'ang (legenda)
3.000 tahun SM
Kerajaan Yu (legenda)
3.000 tahun SM
Dinasti Hsia
1994-1523 SM (perkiraan)
Dinasti Shang (Yin)
1523-1028 SM (perkiraan)
Dinasti Chou
Chou barat
Chou timur
1027-256 SM (perkiraan)
1027-770 SM (perkiraan)
770-256 SM
Dinasti Chin
256-206 SM
Dinasti Han
Han barat (awal)
Hsin
Han timur (kemudian)
202 SM – 220 M
202 SM – 9
9-23
25-220
Tiga kerajaan
Shu
Wei
Wu
220-265
221-264
220-265
222-280
Dinasti Chin (Tsin)
Chin barat
Chin timur
265-420
265-317
317-420
Dinasti-dinasti selatan
Liu Sung
Ch'i
Liang
Ch'en
420-589
420-479
479-502
502-557
557-589
Dinasti-dinasti utara
Wei (kemudian)
Wei (timur)
Wei (barat)
Ch'i (utara)
Chou (utara)
385-581
386-535
534-550
535-556
550-557
557-581
Dinasti Sui
581-618
Dinasti T'ang
618-906
5 (lima) dinasti
Liang (kemudian)
Yang (kemudian)
Chin (kemudian)
Han (kemudian)
Chou (kemudian)
907-960
907-923
923-936
936-947
947-950
951-960
10 (sepuluh) kerajaan
Wu
T'ang (selatan)
Ping (selatan)
Ch'u
Shu (awal)
Shu (kemudian)
Wu-yueh
Min
Han (selatan)
Han (utara)
902-979
902-937
937-975
907-963
927-951
907-925
934-965
907-978
909-944
907-971
951-979
Dinasti Sung
Liao
Sung (utara)
His-hsia
Chin (Kin)
Sung (selatan)
960-1279
947-1125
960-1126
990-1227
1115-1234
1127-1279
Dinasti Yuan (MONGOL)
1271-1368
Dinasti Ming
1368-1644
Dinasti Ch'ing (MANCHU)
1644-1911
Republik
sejak 1912 (Agama Buddha di China)


Agama Buddha berkembang ke China sekitar abad kedua sebelum masehi melalui Asia Tengah dan mulai berpengaruh pada masa pemerintahan Kaisar Ming (58-75 M). Sejak dinasti Han (202-­220 M), agama Buddha mulai mendapat perhatian. Kira-kira pada masa itulah Mo Tzu menyusun bukunya Li-huo-lun (Menangkis Kekeliruan) sebagai apologia bagi agama Buddha.

Pada tahun 147 M seorang bhiku dari Asia Tengah bernama Lokaraksha telah menetap di Loyang, ibukota dinasti Han masa itu. Pada abad ke-2, ke-3, dan ke-4 banyak bhikkhu dari India pergi ke China dan menyalin berbagai Sūtra dan sastra dalam bahasa China.

Pada tahun 399 M seorang bhiku China bermana Fa Hien, bersama rombongannya yang terdiri atas 10 orang, melakukan perjalanan ke India melalui jalan darat untuk mempelajari agama Buddha. Pada tahun 413 M, beliau pulang melalui jalan laut dan singgah di Sriwijaya (Sumatera) dan Jawa. Beliau menyalin berbagai sūtra. Catatan beliau mengenai negara-negara Buddhis (Record of Buddhist countries) terkenal sampai kini.

Dalam masa dua setengah abad, setelah Bhiku Fa-Hien, banyak lagi peziarah yang terdiri dari bhiku-bhiku China, berangkat ke India. Tetapi catatan perjalanan mereka lenyap, kecuali petikan-petikan singkat yang terdapat pada berbagai naskah kuno. Menjelang awal abad ke-7 M, seorang bhiku Cina bernama Huan­ Tsang melakukan perjalanan lagi ke India dan catatan perjalanan beliau pada berbagai wilayah barat itu (Record of West­ern Regions) merupakan salah satu sumber sejarah sampai kini. Beliau merasa tidak puas menyaksikan agama Buddha yang dicintainya telah kehilangan pengaruh di anak benua India.


ALIRAN AGAMA BUDDHA AWAL DI CHINA

Aliran-aliran agama Buddha yang berkembang di China secara garis besar terbagi  dalam dua pandangan, yaitu (1) aliran-aliran dari pandangan Atta dan (2) aliran-aliran dari pandangan Anatta.

Aliran yang mula-mula berkembang di China adalah Theravāda, yang terbagi dalam tiga aliran, yaitu :

Cheng-shih (di India dinamakan aliran Sautantika), yang berpandangan bahwa Dhamma dan kehidupan itu hanya realitas maya. Aliran itu berkembang di China sampai abad ke-6, lalu mulai mundur, dan kemudian lenyap pada abad ke-8 setelah aliran San-lun (Mahāyāna) muncul.

Chu-she (di India dinamakan aliran Vaibashika), berpandangan bahwa Dhamma dan kehidupan itu mempunyai realitas. Aliran itu berkembang sampai abad ke-7 dan kemudian lenyap setelah aliran Mahāyāna muncul.

Lu, yaitu aliran yang mempertahankan peraturan yang ketat bagi kehidupan Sagha berdasarkan Vinaya Piaka. Ajaran dari aliran ini dikembangkan dan disempurnakan oleh Tao­shuan (596-667 M), seorang bhiku terkemuka dari Gunung Selatan. Peraturan yang ketat itu termasuk 250 "larangan" bagi bhiku dan 348 "larangan" bagi bhikuni. Lambat laun aliran tersebut meresapi ajaran-ajaran aliran lain sehingga tidak lagi merupakan aliran tersendiri.

Ketiga aliran tersebut tidak bertahan lama karena masuknya aliran Mahāyāna yang lebih mudah berkembang di China, sehingga pada akhirnya pengaruh Theravāda lenyap dari bumi China.

Dalam aliran Mahāyāna di China, berkembang tujuh aliran besar, yaitu :
aliran San-lun
aliran Wei-shih
aliran Tien-tai
aliran Hua-yen
aliran Chan
aliran Ching-tu
aliran Chen-yen

Di antara tujuh aliran itu, hanya empat paling berpengaruh dan merupakan inti dari agama Buddha di China. Keempat aliran itu adalah Tien-tai, Hua-yen, Chan, dan Ching-tu.

Dalam lingkungan agama Buddha di China, ada pameo berbunyi : "Tien-tai dan Hua-yen untuk doktrin; Chan dan Ching­tu untuk kebaktian." Intisari pendirian dari satu persatu aliran tersebut dijelaskan di bawah ini.


Aliran Sun-lun

San-lun artinya Tiga Sūtra. Aliran ini berdasarkan pada tiga karya yang disalin Kumarajiva ke dalam bahasa China. Dua buah di antaranya adalah karya Bhikkhu Nagarjuna dan sebuah lagi merupakan karya muridnya, Deva.

Aliran ini di India dikenal sebagai aliran Madhyamika (Aliran Tengah). Aliran ini berpendirian bahwa seluruh alam luar itu hanya suatu realitas terbatas (qualified reality) belaka, tidak merupakan realitas penuh. Seluruh fenomena dalam alam luar itu sepanjang fragmatis memang suatu kenyataan, dalam pengertian realitas terbatas, bagi tujuan-tujuan praktis. Semuanya itu hanya riil dalam pengertian kenyataan semu belaka. Tidak terdapat satupun dari keseluruhannya itu memiliki Atta (full-Being). Pada akhirnya, semuanya akan kehilangan realitas.

Setiap orang terus menerus dipengaruhi oleh ilusi (khayal) dari tanggapan indrianya. Semuanya itu pada hakikatnya hanya kekosongan belaka. Kekosongan (sunyata) itu saja yang betul-betul unya Vāda (Doktrine of Emptiness).

Suatu kritik yang diajukan terhadap pemikiran unya Vāda adalah apabila pemikiran itu dilanjutkan maka setiap pemikiran (bahkan pemikiran unya Vāda itu sendiri yang mempertahankan serba-kosong itu) adalah tidak riil. Argumentasi di atas itupun, yang menantang unya Vāda, juga tidak riil. Pernyataan terakhir itupun tidak rill. Begitu seterusnya tanpa henti-hentinya.

Sekalipun begitu, aliran unya Vāda itu bukan bersifat pesimistis karena di dalamnya terkandung pula sesuatu yang positif. Jika alam luar itu pada hakikatnya tidak riil dan hanya kekosongan saja yang betul-betul riil, namun hal itu dapat dialami dalam samādhi secara langsung dan pasti, yaitu suatu hal yang tidak dimiliki oleh alam luar, maka kekosongan itu pada hakikatnya berada di mana-mana mencakup segalanya. Jadi segala yang ada itu pada hakikatnya merupakan bagian dari kekosongan itu atau Nirvāa.

Di dalam ungkapan yang lebih mudah untuk dipahami akan dapat dijelaskan sebagai berikut : silahkan pejamkan mata anda dan tutup telinga anda maka segalanya akan berubah menjadi suatu yang kosong (void). Dengan membenamkan diri di dalam kekosongan itu (sewaktu menjalankan samādhi), seseorang mencapai Nirvāa. Di sana terasa ketentraman jiwa, teduh-tenang, suatu diam yang kekal.

Di dalam aliran Madhyamika ini dijumpai dua pengertian tentang kebenaran, yaitu kebenaran umum dan kebenaran tertinggi. Pernyataan bahwa Dhamma dan aku itu ada merupakan hal yang dipandang dari sudut kebenaran umum atau kebenaran alami, yang sifatnya relatif dan pragmatis. Pernyataan bahwa Dhamma dan aku itu senantiasa berubah dari saat ke saat dan itu bukan sesuatu yang tetap ada pada setiap saat merupakan hal yang dipandang dari sudut kebenaran tertinggi. Hanya unya (kekosongan, void) saja yang memiliki realitas yang tidak berubah-­ubah.

Titik tolak aliran Madhyamika itu berpangkal pada Empat Dalil yang pada intinya menolak setiap pandangan tentang : (1) ada, (2) tidak ada, (3) serentak ada dan tidak ada, (4) serentak ada dan bukan tidak ada.

Keempat hal tersebut apabila dibahas satu persatu secara terperinci dengan argumentasi-argumentasi yang padat dan tajam akan memperlihatkan ketajaman dalam penggunaan logika sehingga ketiga Sūtra yang menjadi dasar aliran Madhyamika itu mempunyai kekuatan yang mempesona. Demikian pendapat dari W. Theddore de Bary di dalam buku Sources of Chinese Tradition edisi 1964, menyatakan bahwa George Berkeley (1685-1753) dan David Hume (1711-1776), dua orang filsuf bangsa Inggris yang pendapatnya menggoncangkan alam pikiran di Barat pada abad ke-18, meminjam dalil-dalil Bhikkhu Nagarjuna itu.

Aliran Madhyamika di China (aliran San-lun) ini kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Dhi-tsang (549-623 M), seorang bhiku yang memiliki ayah dari Parsi dan ibu dari China. Karya-karyanya merupakan penyempurnaan yang menyeluruh bagi aliran Mahāyāna. Akan tetapi aliran itu mulai kurang berpengaruh semenjak abad ke-9 Masehi.


Aliran Wei-shih

Wei-shih itu bermakna “Hanya Kesadaran”. Aliran ini di India dikenal dengan nama vijñānavāda yang dibangun oleh Asanga. Sebelum karya Asanga disalin ke dalam bahasa China, aliran ini dikenal dengan sebutan She-lun. Aliran ini belakangan dikenal sebagai aliran Fahsiang (Dharmakāya), dibangun oleh Huan-Tsang (596-664 M), seorang bhiku, penulis, dan cendekiawan. Beliau melakukan perjalanan ke India, setelah pulang kembali ke China, beliau dengan tekun menyalin karya-karya kaum vijñānavāda, terutama karya Bhikkhu Dhammapāla yang berjudul Vijñāpti-Matrata-Siddhi (Sistematika dari Hanya Kesadaran, Cheng Wei Shih Lun). Semenjak itu aliran ini lebih dikenal dengan sebutan Aliran Wei-Shih.

Vijñānavāda ini merupakan sebuah aliran Cita-Murni (Pure Idealism). Perwujudan alam luar itu hanya ada di dalam ingatan seseorang. Alam luar itu tidak lain dari maya belaka. Bagi seseorang di dalam samādhi mungkin saja bisa memunculkan di depan mata ingatannya akan segala rupa dari alam luar itu, yang benar-benar mirip menurut kenyataannya sesuai tanggapan indria, namun orang tersebut sadar bahwa semuanya itu tidak memiliki realitas. Justru tanggapan itu, dengan begitu, bukan bukti atas “ada”. Setiap tanggapan itu tidak lain adalah proyeksi dari ingatan belaka, yakni dari kesadaran seseorang.

Meskipun begitu, kaum Vijñānavāda mengakui ada sesuatu yang bebas dari pemikiran manusia, “ada yang murni”, dan menyeluruh tanpa ciri, yang tidak bisa diberi predikat olah karena ada itu sendiri tanpa predikat. “Ada yang Murni” dan menyeluruh itu disebut dengan Tathatā. Tathatā itu merupakan sebutan bagi Maha Pencipta, Tathatā itu bermakna “Kenyataan”. “Kenyataan” itu merupakan sesuatu yang dapat ditunjuk oleh kesadaran tetapi tidak dapat dilukiskan.

Mengenai pengertian Tathatā, ada yang menafsirkannya sebagai pengaruh dari ajaran Tao dari Lao-Tzu. Mengenai ajaran bahwa Tathatā itu merupakan sesuatu “Ada yang Murni” tanpa predikat, ada yang berpendapat bahwa ajaran itu berpengaruh terhadap aliran Iktizal di dalam Islam, suatu aliran yang dibangun di Basrah oleh Washil ibn Athak (689-748 M) dan Amru ibn Ubaid (699-757 M), kemudian berkembang ke Baghdad dan pada masa pemerintahan Khalif Al Makmun (813-833 M) diakui sebagai aliran resmi yang menggantikan aliran Sunni.

Mengenai ajaran tentang Keselamatan (Salvatian), yakni Moksha yang akan membebaskan Dukkha, kaum Vijñānavāda berpendapat bahwa hal itu hanya dapat dicapai dengan menghabiskan perbendaharaan kesadaran sampai “Ada yang Murni”, sehingga akhirnya sama dengan Kenyataan (Tathatā). Jalan satu-satunya untuk mencapai hal itu hanya dengan menjalani Yoga, yang terbagi atas Kriya yoga dan Raja yoga.

Tathatā atau “Kenyataan” itu dapat dicapai dengan empat hikmat, yaitu :
1.   hikmat laku, terdiri atas lima tingkat kesadaran.
2.   hikmat tinjauan, pemusatan kesadaran indria.
3.   hikmat ingatan, pemusatan kesadaran ingatan.
4.   hikmat Kaca-Maha-Agung, berupa kesadaran tertinggi, yang melenyapkan diri ke dalam Keituan.


Aliran Tien-tai

Aliran Tien-tai dalam agama Buddha mendapatkan kedudukan penting dalam filsafat China. Di Jepang disebut dengan aliran Nichiren.

Pada mulanya aliran ini berdasarkan pada Saddharma-Pundarika-Sūtra (Seroja dari Hukum Terbaik), tetapi dalam perkembangannya, penafsiran terhadap karya tersebut yang diberikan oleh Chih-kai (538-597 M) menjadi pegangan utama. Chih-kai adalah nama seorang Bhiku yang berasal dari wilayah Gunung Tien-Tai di provinsi Chekiang, tempat Bhiku Chih-kai membuka perguruannya.

Seroja Hukum Terbaik itu, menurut pendapat Guru Besar dari Tien-tai, adalah Sūtra Mahāyāna yang paling mudah untuk dipahami oleh kalangan umum, karena bukan karya theologis yang berbelit-belit, tetapi langsung memberikan tuntutan ke arah keselamatan melalui praktek.

Pandangan-pandangan Chih-kai dicatat dan dihimpun oleh muridnya, Kuan-ting, dan merupakan tiga karya besar dari aliran Tien-tai, yaitu :
1.   Fa-hua wen-chu, tentang kata dan kalimat di dalam Seroja.
2.   Fa-hua hsuan-i, tentang pengertian yang lebih dalam dari Seroja.
3.   Mo-ho chi-kuan, tentang kesadaran dan renungan.

Pada masa itu, agama Buddha di China memperlihatkan dua ciri. Di wilayah bagian selatan lebih mengutamakan pembahasan­-pembahasan secara rasional dan filosofis. Sedangkan di wilayah bagian utara lebih mengutamakan kepercayaan dan penghormatan terhadap tata tertib. Belahan selatan bersifat intelektual sementara belahan utara bersifat disiplin.

Chih-kai berasal dari selatan, tetapi gurunya, Hui-tsu (514­-577 M) berasal dari utara. Dengan begitu menurut pemeo China, pada diri Chih-kai itu bersatu dua sayap burung. Ajaran Tien-tai mengutamakan suatu prinsip yang disebut dengan Keselamatan Sempurna melalui Tiga Kebenaran, yaitu :
1.   Seluruh “unsur” (Dharma) dan “aku” merupakan suatu kekosongan belaka, yang dihasilkan oleh hukum sebab-akibat, serta tidak memiliki ciri kedirian.
2.   Semuanya hanya “Ada Sementara”.
3.   Disebabkan kosong dan sementara, maka watak khusus dari segalanya itu hanya “pengertian-pengertian” belaka.

Ketiga hal tersebut (kosong, sementara, pengertian) saling berkaitan satu dengan lainnya, dengan demikian, “Satu adalah Tiga” dan “Tiga adalah Satu”. Kesatuan itu merupakan “ada-Kenyataan” yang relatif tetapi memiliki kemiripan dengan Yang Mutlak.

Titik berat terpenting pada aliran Tien-tai terletak pada kesadaran dan renungan sebagai jalan untuk menuju “Kebenaran Terakhir”. “Kebenaran Terakhir” itu terjelma pada saat-saat dalam Ekstasi. Ada Sementara’ itu memiliki kepribadian-Buddha di dalam dirinya dan justru bisa diselamatkan melalui kesadaran dan konsentrasi. Dalam hal ini, sarjana menilai sebagai pengaruh ajaran Atman dan Brahman dari agama Hindu.


Aliran Hua-yen

Aliran Hua-yen bermakna Kalung Bunga (Flower Gar­land School). Aliran Hua-yen ini berdasarkan Avatamsaka-Sūtra, sebuah karya dari India Utara, yang mengemukakan ajaran Sakyamuni dalam kedudukannya sebagai penjelmaan Buddha Vairochana. Aliran tersebut di India sendiri tidak pernah ada. Sedangkan Vairochana itu, di dalam Upanishads yang merupakan kitab suci agama Hindu, adalah penamaan bagi pemimpin kodrat-kodrat rohani yang mempunyai sifat tertentu.

Aliran ini mula-mula dibangun oleh Tua-shun (557-640 M), kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Fa-tsang (643-712 M), seorang Guru Besar dari Hsien-show. Dengan demikian aliran ini berasal dari daerah asal guru besarnya.

Pokok ajaran utama dalam aliran Hua-yen adalah Kausalitas Univeral, yaitu Hukum Sebab Akibat yang Universal. Alam semesta itu tercipta dengan serentak dan ini yang disebut alam Hukum (Dharmadhatu) oleh aliran Hua-yen.

Seluruh unsur (Dharma) dan aku memiliki tiga ciri yang saling berlawanan, yaitu :
1.   umum khusus
2.   persamaan ­perbedaan
3.   kesatuan perpisahan.


Aliran Ching-tu

Aliran Ching-tu biasa disebut aliran Sukhavati (Happy Land School), didasarkan pada Sukhavati-Vyusha-Sūtra

Keadaan di dalam Sukhavati digambarkan dengan keadaan yang sangat menggiurkan siapapun. Kesenangan yang bagaimanapun sempurnanya di dunia ini tidak berarti bila dibandingkan dengan kesenangan yang bakal dinikmati di dalam Sukhavati. Oleh karena itulah aliran Ching-tu memperoleh pengaruh yang kuat dan luas dari kalangan umum di seluruh China.

Sukhavati dikuasai oleh Buddha Amitābha. Di China disebut dengan Kwan-Yin dan di Jepang disebut dengan Amida. Setiap orang yang menginginkan kebenaran dan pencerahan, senantiasa memusatkan pemikiran dan renungan terhadap Amitābha, pada saat menghembuskan napas yang penghabisan mengucapkan nama-Nya, maka Buddha Amitābha dengan segala pengiringnya akan menyambut orang itu dan langsung membawanya ke Sukhavati.

Para pengikut aliran Ching-tu sangat mengutamakan samatha, ketenangan batin.


Aliran Chan

Aliran Chan di China dikenal di India dengan sebutan aliran Dhyāna dan di Jepang dikenal dengan sebutan aliran Zen. Dhyāna berarti meditasi (samādhi). ”Chan” dan ”Zen” adalah perubahan bunyi (transliterasi) dari dhyāna menurut dialek China dan dialek Jepang. Aliran Chan bersifat mistik. Buddha Gotama pada masa hidup-Nya, menurut aliran Chan, tidak memberikan dan membukakan ”Ilmu Tertinggi” kepada siapapun, kecuali kepada seorang murid-Nya yang amat penting, Bhikkhu Mahā Kassapa, satu-satunya murid yang sanggup memahaminya. Bhikkhu Mahā Kassapa dipandang sebagai Bhikkhu Pertama (Dirs Patriarch) menurut silsilah di dalam aliran Chan.

Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa keadaan yang serupa dijumpai dalam lingkungan agama Islam. Tharigat Naksyahandi menyatakan bahwa Salman Al Farisi adalah Imam Pertama dari Tharigat karena Nabi Muhammad S.A.W. tidak memberikan dan membukakan Ilmu Tertinggi dari Thariqat kecuali kepada Salman Al Farisi. Ada rantai silsilah hingga sampai kepada pembangun Thariqat tersebut, yaitu Muhammad bin Baharuddin Al Naksyabandi (1338-1412 M), yang berasal dari Asia Tengah.

Demikian pula halnya dengan aliran Chan yang menyatakan bahwa Bhikkhu Mahā Kassapa hanya mewariskan hikmat rahasia itu kepada penggantinya, demikian terus menerus hingga berjumlah 27 orang Bhikkhu di India. Bhikkhu yang ke-8 bernama Bodhidharma yang meninggalkan India dan berlayar ke China pada tahun 527 (masa pemerintahan Liang Wudi dari dinasti Liang). Bodhidharma menetap selama 9 tahun di Vihāra Saolin, di pegunungan Song, serta menunjuk Bhiku Hui-ke sebagai penggantinya.

Di China, ”Kebenaran rahasia” itu diwariskan secara turun temurun. Secara berturut-turut Bhiku Hui-ke digantikan oleh Seng Can, Dao Xin, Hong Ren, dan Hui Neng (638-713 M) dalam kedudukannya sebagai Bhiku Keenam (Sixth Patriarch). Murid Hui-neng yang terkenal adalah Nanyue Hua Rang (677-744), Qingyuan Xingsi (660-740), Yongjia Xuang Xuang jue (665-713), Nanyang Huizon (677-775), dan Heze Shenhui (670-758 M.).

Aliran Chan bersikap agak bebas dalam mempelajari berbagai Sūtra Mahāyāna. Aliran ini tidak mengikatkan diri pada Sūtra tertentu. Begitu pula terhadap berbagai aliran filsafat dan theogoni di dalam aliran Mahāyāna. Aliran Chan lebih mengutamakan pendekatan secara kerohanian (intuitif) untuk mencapai ”Kesadaran Tertinggi”.

Dengan begitu aliran Chan tidak berdasarkan Sūtra tertentu dan tidak mengutamakan kata-kata maupun kalimat-­kalimat yang dijumpai di dalam Sūtra tersebut.

Segala ajaran di dalam aliran Chan lebih mengutamakan saluran ”ingatan-ke-ingatan” (mind-to-mind). Mereka berpegang pada kisah bagaimana Buddha Gotama (563-483 SM) pada suatu waktu menyampaikan ajaran-Nya tanpa mengucapkan sepatah katapun, tetapi hanya memandangi mata seorang murid-Nya. Beliau lalu membuat ”gerak-kecil dengan jarinya”. Murid itu mendadak menerima suatu ”Ilmu Tertinggi”. Aliran Chan tidak mempergunakan argumentasi-argumentasi yang rasionil maupun rumusan-rumusan theologies yang demikian pelik.

Sifat kepribadian pada aliran Chan amat kuat sehingga para pengikutnya kurang menaruh hormat terhadap patung-patung pujaan. Sikap aliran Chan ada yang menilai agak bersifat icono­-clastic, yakni menolak pemujaan patung-patung, karena pujaan-­pujaan lahiriah itu tidak membawa kepada ”Tujuan Tertinggi”. Titik berat ajarannya lebih mengutamakan disiplin, yakni ketaatan dan khidmat yang sepenuh-penuhnya kepada ”Guru”. Hanya ”Guru” saja yang secara resmi dan pasti dapat menuntun seorang Murid kepada pencerahan dan kebenaran untuk mencapai ”Kepribadian Buddha”.

Aliran Chan berpendirian bahwa ”Kepribadian Buddha” hidup terbenam dalam diri manusia dan melalui renungan di dalam samādhi, maka ”Kepribadian-Buddha” itu dapat dilihat.

Isi ”Kepribadian Buddha” adalah kekosongan (suññatā) yang berarti kosong dari setiap ciri-ciri khusus. Alam lahir dengan seluruh ciri-ciri khusus itu hanya khayal (maya) belaka. Jalan satu-­satunya untuk mendekati ”Kebenaran Terakhir” itu adalah melalui samādhi, yang terbagi dalam dua macam, yakni :
1.   Tathāgata-Meditation, yaitu cara samādhi dari Buddha Gotama, mempergunakan kodrat-kodrat renungan.
2.   Patriarchal-Mediation, yaitu cara samādhi yang diajarkan oleh Bhiku Bodhidharma, meniadakan pemikiran dan memusatkan kesadaran rohani guna mencapai ”Kepribadian Buddha”.

Di dalam kesadaran rohani itu semua batas pandangan dilenyapkan, seluruh pengharapan-pengharapan dipusatkan, dan satu-satunya tujuan adalah menyaksikan ”Kebenaran Terakhir” itu. Guru-guru Besar dari aliran Chan itu pada masa-masa kemudian sengaja mengajar dan berbicara dalam bahasa biasa. Tidak lagi menggunakan laku dan gerak yang penuh rahasia dan teka-teki. Hal inilah yang menyebabkan aliran Chan itu populer di China.

Tentang kesadaran rohani itu terdapat dua paham pada masa Imam ke-enam Hui-Neng (638-713 M) masih hidup, yaitu:
1.   Kesadaran Mendadak, dianut oleh aliran Selatan yang didirikan oleh Hui-Neng, kemudian dikembangkan oleh Shen­hui (670-762) dan pada masa akhir dinasti Tang tumbuh menjadi lima cabang perguruan dan secara bersama-sama membentuk lima perguruan Chan di China yang terkenal sampai sekarang.
2.   Kesadaran Berangsur, dianut oleh aliran Utara, berdasarkan ajaran dari Shen-Hsiu (605-796 M). Aliran utara itu bertahan tidak lama lalu lenyap.


Aliran Chen-yen

Chen-yen bermakna ”Kata yang Benar”. Aliran Chen-yen berpendirian bahwa alam semesta itu berisi tiga misteri, yaitu pikiran, ucapan, dan perbuatan. Tiga misteri itu menyimpan kodrat-­kodrat yang bersifat magis.

Seluruh alam lahir yang merupakan penjelmaan pikiran, ucapan, dan perbuatan itu adalah manifestasi dari ”Buddha-Matahari ­Terbesar”. Di sana dirasakan pengaruh mitologi Yunani, yang pada abad ketiga sebelum masehi dibawa oleh pasukan Yunani yang menguasai Asia Tengah dan anak benua India. Orang Yunani pada waktu itu memuja Dewa Matahari (Zeus).

Dengan mempergunakan bahasa rahasia, sajak-sajak mistik, kata-kata mantra, dan sebagainya, maka inti kodrat dari Buddha akan dapat dihubungi oleh manusia dan digunakan untuk sesuatu tujuan. Doktrin ini pada awalnya memperoleh pengaruh besar di China tetapi kemudian berangsur-angsur mundur. Namun dewasa ini dijumpai pengaruhnya di Tibet dan Jepang.


Kemunduran agama Buddha di China

Pada tahun 845 agama Buddha di China menghadapi cobaan berat. Kaisar Wu Zong yang berkuasa mengeluarkan perintah untuk melenyapkan pengaruh agama Buddha atas pertimbangan ekonomi. Lebih dari 4.600 vihāra dan 40.000 biara di wilayah kerajaan dihancurkan, lebih dari 260.500 bhiku-bhikuni dipaksa kembali ke kehidupan rumah tangga sementara lebih dari 150.000 dipaksa menjadi pekerja kerajaan. Dan tidak dapat dibayangkan banyaknya karya-karya sūtra dan sastra yang ditulis selama 6 dinasti ikut terbakar dan hancur.

Dalam keadaan yang sulit tersebut, agama Buddha dari aliran Chan saja yang dapat bertahan dan tidak banyak terpengaruh karena aliran ini tidak tergantung pada kitab-kitab ataupun upacara-upacara. Bhiku-bhiku aliran Chan dapat bekerja sendiri­sendiri untuk mendapatkan nafkahnya dan tidak tergantung dari masyarakat.

Krisis yang terjadi pada masyarakat China setelah runtuhnya dinasti Han telah diwarnai oleh nilai-nilai yang dibawa oleh ajaran agama Buddha yang masuk melewati Asia Tengah. Diseluruh wilayah kerajaan, baik di utara, selatan, maupun suku-suku nomad (pengembara) serta di lingkungan kaum terpelajar maupun masyarakat umum, agama Buddha diterima dengan tangan terbuka. Kemudian agama Buddha ikut berkembang dalam pasang surutnya dinasti-dinasti.

Ajaran agama Buddha mempunyai pengaruh yang kuat dalam kebudayaan China. Ajaran Mahāyāna membawa pengaruh terhadap seni patung dan seni lukis di negeri ini. Agama Buddha juga menambah perbendaharaan bahasa China serta menambah wawasan pandangan dan pemikiran bangsa China. Keberadaan ajaran Kong Hu Chu dan Tao yang ada tidak cukup kuat untuk menahan para cendekiawan pergi ke India mempelajari pandangan-pandangan baru. Menjelang akhir abad ke-8, kebudayaan China berkembang ke arah yang sebaliknya. Ketimpangan kehidupan biara dan kerajaan telah dijadikan alasan bagi penguasa untuk mengesampingkan agama Buddha dan mengembalikan pandangan asli yang berdasarkan ajaran Kong Hu Chu dan Tao. Beberapa waktu kemudian kedua ajaran asli China mengalami zaman kebangkitan kembali pada abad ke 10.

0 komentar:

Posting Komentar